you will be find something about funnies here

Thursday, May 24, 2007

Aplikasi Citra landsat pada GIS



Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Komponen dasar suatu sistem pengindearaan jauh lokal ditunjukkan dengan adanya suatu sumber tenaga yang seragam, atsmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, berbagai penggunaan data.


penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan utama penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya.

keberhasilan terapan penginderaan jauh meningkat cukup berarti dengan menggunakan pendekatan multi pandang (multiple view) untuk pengumpulan data. Cara ini dapat meliputi penginderaan multi tingkat (multi stage) dimana data suatu daerah kajian dikumpulkan dari berbagai tinggi terbang. Dapat pula dengan penginderaan multispektral (multi spectral) dimana data diperoleh pada beberapa saluran spektral secara bersama-sama. Atau dapat juga dengan penginderaan multi waktu (multi temporal) dimana data suatu daerah dikumpulkan dengan lebih dari satu tanggal pemotretan..

Citra Landsat
Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan adalah untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat. Citra landsat komposit warna cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannnya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic Mapper), yang memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter dengan karakteristik tertentu.

Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi ke dalam dua klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Proses pengklasifikasian klasifikasi terbimbing dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi.

Pada klasifikasi tidak terbimbing, pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokkan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.

Penggunaan Citra Landsat TM Pada Sistem Informasi Geografis
Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan ke dalam SIG dengan beberapa cara. Cara pengintegrasian tersebut dapat ditempuh dengan foto udara discan, digitasi peta rupa bumi, menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversi ke dalam format SIG, atau langsung menggunakan perangkat lunak SIG seteah citra di digeoreferensi. Hasilnya dapat berupa data ektor maupun data raster.

Data vektor adalah objek yang diwakili oleh titik-titik, garis dan poligon yang mempunyai sistem koordinat kartesius, sedangkan data raster berupa satuan homogen terkecil yang disebut piksel, setiap piksel menyatakan luasan perrmukaan bumi suatu lokasi. Pemilihan citra satelit dan model data yang akan digunakan tergantung kepada kebutuhan pengguna SIG. Semakin tinggi resolusi dari citra yang ada maka akan semakin baik kenampakan data spasial yang dihasilkan.

Saat ini semakin banyak sistem satelit penginderaan jarak jauh yang telah membuat kemajuan yang sangat spektakuler di bidang penginderaan jauh, sehingga menghasilkan data input untuk SIG. Data input SIG dapat beragam jenis formatnya. Salah satu contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui pemanfaatan penginderaan jauh baik berupa hasil interpretasi foto udara maupun dari penerapan metode citra digital yang dikonversikan ke dalam teknologi SIG. Dengan berbasis kepada georeference dalam SIG, dimungkinkan adanya penggabungan beragam informasi, baik data spasial maupun deskriptif.

Data digital yang diterima dari penginderaan jauh melalui satelit dan yang diperoleh langsung dari terapan klasifikasi citra satelit secara digital biasanya berbentuk format raster. Sementara data input SIG melelui digitasi berbentuk vektor. Dengan teknologi SIG, perbedaan tersebut dapat dimanfaatkan dalam menganalisis penutupan dan penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS).

Satelit yang dapat menghasilkan peta citra diantaranya adalah Lansat TM. Data Landsat TM diolah dengan menggunakan software ERDAS Imagine versi 8.5. Langkah pertama yang dilakukan dalam menganalisis citra adalah dengan mengadakan koreksi-koreksi dari citra tersebut dengan menggunakan peta rupa bumi digital yang telah dibuat terlebih dahulu. Koreksi geometris dengan menggunakan peta acuan ini hanya dilakukan pada salah satu data citra Landsat TM. Koreksi untuk citra yang lain dilakukan dengan cara koreksi dari citra ke citra. Proses resampling nilai digital citra asli ke dalam citra terkoreksi menggunakan metode nearest neighbourhood interpolation.Penentuan lokasi penelitian (cropping) dilakukan pada kawasan yang akan kita lakukan kajian, misalnya DAS.

Untuk tahapan selanjutnya adalah melakukan klasifikasi secara digital dengan menggunakan Klasifikasi Tak Terbimbing (Unsupervised Classification) dan Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) berdasarkan kunci interpretasi penutupan/penggunaan lahan yang telah dimodifikasi. Penutupan/penggunaan lahan tersebut yakni: hutan, perkebunan, sawah, semak belukar, ladang/tegalan, build up, lahan kosong, air, awan dan bayangan awan.
(Dari berbagai sumber).

Pengelolaan Kolaboratif

Konversi hutan menjadi perkebunan dan transmigrasi serta kegiatan destructive logging nyaris menyebabkan Orang Rimba kehilangan hak ulayat dan kehidupan mereka. Suku asli Jambi yang sepenuhnya menggantungkan hidup dari sumber daya hutan ini, semakin termarginalkan. Diperparah lagi dengan sangat terbatasnya kemampuan mereka mengakses administrasi desa, politik, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Akibatnya Orang Rimba menjadi terasing di tanah mereka sendiri.

KKI Warsi sebagai NGO yang peduli dengan pelestarian lingkungan sejak awal berjuang untuk mengadvokasikan perlindungan hak Orang Rimba terhadap spot-spot lahan tersisa agar mereka tidak kehilangan lahan. Berawal ketika kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang menjadi tempat hidup dan penghidupan Orang Rimba terus mendapat tekanan dari HTI. Cagar Biosfir seluas 27.000 ha ini, tahun 1997 terancam, karena bagian Utara Cagar Biosfir sedang dan akan di konversi menjadi HTI oleh Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari.

Warsi kemudian mulai melakukan kajian-kajian dan kegiatan untuk membantu Orang Rimba mempertahankan hak mereka atas wilayah yang secara turun temurun telah menjadi tempat hidup mereka. Kajian yang dilakukan KKI Warsi terhadap kawasan hidup Orang Rimba merekomendasikan agar areal kawasan PT INHUTANI V dan PT Sumber Hutan Lestari yang terletak di sisi luar bagian Utara CBBD diperuntukkan sebagai kawasan hidup komunitas Orang Rimba. Dari pemetaan partisipatif semakin menguatkan kawasan Cagar Biofir Bukit Duabelas dan areal perluasan Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari, lebih signifikan menjadi kawasan Orang Rimba. Sehingga perluasan Cagar Biosfer menjadi sangat penting untuk melindungi hak Orang Rimba. Kawasan tersebut satu-satunya areal hutan alami dataran rendah yang tersisa di tengah-tengah Propinsi Jambi yang sangat penting bagi kehidupan sosial budaya Orang Rimba dan masyarakat luas.

Berbagai upaya telah dilakukan Warsi bersama Orang Rimba untuk legalitas perluasan Cagar Biosfir, untuk kawasan penghidupan Orang Rimba. Respon pemerintah pun cukup baik, izin perusahaan dikawasan itu HTI dicabut, kemudian kawasan ini diakui sebagai kawasan hak Orang Rimba dengan status hukum Taman Nasional dan disebut Taman Nasional Bukit Duabelas. Respon pemerintah ini memang cukup unik, karena usulan semula hanya perluasan cagar biosfrir tetapi yang keluar justru taman.

Taman Nasional Bukit Duabelas yang ditetapkan Menteri Kehutanan pada Agustus 2000 merupakan perluasan dari Cagar Biosfer dengan misi menjamin kelangsungan eksistensi kawasan sebagai kawasan budaya dan sumber kehidupan ekonomi alternatif bagi komunitas Orang Rimba. Tujuan utama perluasan Cagar Biosfer yang diperjuangkan oleh Warsi dan mitranya adalah sebagai kawasan pelestarian alam dan kawasan budaya komunitas Orang Rimba dengan melakukan pengelolaan secara bersama sehingga memberikan sumbangan optimal bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar taman nasional.

Warsi sangat menyadari bahwa status hukum kawasan hidup komunitas Orang Rimba di akui melalui penetapan Taman Nasional, akan tetapi menimbulkan persoalan yang berimplikasi luas terhadap pengelolaan kawasan tersebut. Akan tetapi menurut pandangan pemerintah dalam hal ini departemen kehutanan, status Cagar Biosfir tidak memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia, sehingga pemerintah secara sepihak memutuskannya menjadi taman nasional. Konsekuensi dari status hukum kawasan konservasi ini adalah pengelolaan yang masih terpusat dibawah Departemen Kehutanan dalam hal ini BKSDA Jambi sebagai pemangku kawasan sebelum terbentuknya balai taman nasional.

Harapan banyak pihak melihat bahwa TNBD yang diperuntukkan menjadi wilayah kehidupan dan penghidupan Orang Rimba merupakan salah satu terobosan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Karena Taman Nasional ini merupakan satu-satunya taman nasional di Indonesia yang kelahirannya bertujuan untuk melindungi hak hidup dan penghidupan suku asli yaitu Orang Rimba serta sebagai contoh pengelolaan taman yang masyarakatnya tidak dikeluarkan. Sementara taman nasional lain cenderung membatasi akses manusia bahkan harus ”mengusir” manusia yang berada di dalamnya.

Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negara kita bahwa taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi dan adanya rencana pengelolaan (management planning) sebagai pedoman strategis pengelolaan kawasan konservasi. Untuk itulah BKSDA Jambi membuat Rencana Peneglolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) pada akhir tahun 2004 melalui pihak ketiga sebagai bentuk melaksanakan tanggung jawab dan adanya pengakuan dari pemerintah kabupaten yang melihat TNBD sebagai penghasil PAD mereka. Warsi sebagai lembaga yang telah lama melakukan kajian dan penelitian terkait Bukit Duabelas, berupaya memberikan input dalam penyusunan rencana pengelolaa taman sebagaimana lembaga lain yang juga ikut memberikan masukan untuk kesempurnaan penyusunan RPTN. Hal ini sebagai salah satu wujud komitmen Warsi terhadap Orang Rimba dan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan taman nasional sehingga kepentingan semua pihak bisa terakomodir. Namun karena pembuatan RPTN ini dalam waktu yang relatif singkat dan masih berbasis projek maka keterlibatan masyarakat masih minim. Berdasarkan kenyataan ini, Warsi telah memberikan koreksi dan kritik yang disampaikan dengan santun dan proporsional sehingga didapatkan perbaikan yang posistif, bukan resistensi. Warsi tetap memberikan masukan dan kritikan yang memperjuangkan hak Orang Rimba sedangkan keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah dalam hal ini BKSDA.

Namun rencana pengelolaan yang dikerjakan “dalam waktu singkat” ini memiliki berbagai kelemahan baik dari pengunaan aturan dan redaksional yang meyebabkan berbagai tafsiran dan implikasi yang berlawanan. Untuk itu Warsi mendorong pemangku kawasan untuk segera melakukan revisi RPTN dengan melibatkan semua pihak dan lebih melihat realitas di lapangan. Upaya ini telah dilakukan Warsi semenjak awal disyahkan RPTN karena selain kurang partisipatif juga perlu banyak sosialisasi. Rencana pembagian zonasi taman membuat komunitas Orang rimba merasa terbatasi ruang gerak kehidupan mereka apalagi pemangku kawasan kurang mensosialisasikan sehingga menimbulkan persepsi dan reaksi beragam di masyarakat. Pembentukan Dewan Adat komunitas Orang Rimba dan Persatuan Desa Penyangga sedang diinisiasi oleh Warsi dan mitra, agar keterlibatan stakeholder kunci lebih banyak dalam revisi rencana pengelolaan. Karena bagaimanapun dampak keberadaan taman nasional langsung dirasakan oleh pihak kunci tersebut.


Pengelolaan kolaboratif merupakan suatu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis pola kemitraan dan partisipasi berbagai pihak dalam pengelolaan sumber daya alam kawasan tersebut dengan pembagian wewenang, peran, dan tanggung jawab yang setara. Tujuan dari pengelolaan kolaborasi TNBD ini adalah agar kegiatan pengelolaan sumber daya alam sebagai hak dan kewajiban masyarakat merupakan gerakan masyarakat dalam arti luas sehingga antara program pemerintah dengan gerakan masyarakat dalam pengembangan kawasan konservasi merupakan gerakan terpadu. Prinsip pengelolaan kolaboratif TNBD yang coba didorong Warsi adalah meliputi beberapa hal, yaitu: berbasiskan masyarakat lokal (community-based), mengikutsertakan para pihak terkait (multistakeholders), berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty), berbagi peran (sharing of role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdasarkan Rencana Pengelolaan (management plan) Taman Nasional yang dibuat secara partisipatif.

Dengan adanya pengelolaan kolaboratif yang nantinya mungkin bisa berbentuk Forum Penentu Kebijakan TNBD atau Dewan Pengelola Taman Nasional harus terdiri dari berbagai pihak terutama Orang Rimba dam masyarakat desa sebagai pihak kunci dalam pengelolaan. Harapan kita semua TNBD bisa menjadi contoh pengelolan taman nasional yang tujuan utamanya adalah untuk mendukung kehidupan Orang Rimba dan sumber pelestarian alam. Seperti yang kita ketahui bahwa membangun suatu model pengelolaan kolaboratif yang benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan perjalanan panjang karena berbagai kendala yang dihadapi, seperti misalnya gejolak politik, kepastian hukum, kesiapan para stakeholder dan dukungan semua pihak yang berpartisipasi....