you will be find something about funnies here

Thursday, May 24, 2007

Pengelolaan Kolaboratif

Konversi hutan menjadi perkebunan dan transmigrasi serta kegiatan destructive logging nyaris menyebabkan Orang Rimba kehilangan hak ulayat dan kehidupan mereka. Suku asli Jambi yang sepenuhnya menggantungkan hidup dari sumber daya hutan ini, semakin termarginalkan. Diperparah lagi dengan sangat terbatasnya kemampuan mereka mengakses administrasi desa, politik, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Akibatnya Orang Rimba menjadi terasing di tanah mereka sendiri.

KKI Warsi sebagai NGO yang peduli dengan pelestarian lingkungan sejak awal berjuang untuk mengadvokasikan perlindungan hak Orang Rimba terhadap spot-spot lahan tersisa agar mereka tidak kehilangan lahan. Berawal ketika kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang menjadi tempat hidup dan penghidupan Orang Rimba terus mendapat tekanan dari HTI. Cagar Biosfir seluas 27.000 ha ini, tahun 1997 terancam, karena bagian Utara Cagar Biosfir sedang dan akan di konversi menjadi HTI oleh Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari.

Warsi kemudian mulai melakukan kajian-kajian dan kegiatan untuk membantu Orang Rimba mempertahankan hak mereka atas wilayah yang secara turun temurun telah menjadi tempat hidup mereka. Kajian yang dilakukan KKI Warsi terhadap kawasan hidup Orang Rimba merekomendasikan agar areal kawasan PT INHUTANI V dan PT Sumber Hutan Lestari yang terletak di sisi luar bagian Utara CBBD diperuntukkan sebagai kawasan hidup komunitas Orang Rimba. Dari pemetaan partisipatif semakin menguatkan kawasan Cagar Biofir Bukit Duabelas dan areal perluasan Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari, lebih signifikan menjadi kawasan Orang Rimba. Sehingga perluasan Cagar Biosfer menjadi sangat penting untuk melindungi hak Orang Rimba. Kawasan tersebut satu-satunya areal hutan alami dataran rendah yang tersisa di tengah-tengah Propinsi Jambi yang sangat penting bagi kehidupan sosial budaya Orang Rimba dan masyarakat luas.

Berbagai upaya telah dilakukan Warsi bersama Orang Rimba untuk legalitas perluasan Cagar Biosfir, untuk kawasan penghidupan Orang Rimba. Respon pemerintah pun cukup baik, izin perusahaan dikawasan itu HTI dicabut, kemudian kawasan ini diakui sebagai kawasan hak Orang Rimba dengan status hukum Taman Nasional dan disebut Taman Nasional Bukit Duabelas. Respon pemerintah ini memang cukup unik, karena usulan semula hanya perluasan cagar biosfrir tetapi yang keluar justru taman.

Taman Nasional Bukit Duabelas yang ditetapkan Menteri Kehutanan pada Agustus 2000 merupakan perluasan dari Cagar Biosfer dengan misi menjamin kelangsungan eksistensi kawasan sebagai kawasan budaya dan sumber kehidupan ekonomi alternatif bagi komunitas Orang Rimba. Tujuan utama perluasan Cagar Biosfer yang diperjuangkan oleh Warsi dan mitranya adalah sebagai kawasan pelestarian alam dan kawasan budaya komunitas Orang Rimba dengan melakukan pengelolaan secara bersama sehingga memberikan sumbangan optimal bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar taman nasional.

Warsi sangat menyadari bahwa status hukum kawasan hidup komunitas Orang Rimba di akui melalui penetapan Taman Nasional, akan tetapi menimbulkan persoalan yang berimplikasi luas terhadap pengelolaan kawasan tersebut. Akan tetapi menurut pandangan pemerintah dalam hal ini departemen kehutanan, status Cagar Biosfir tidak memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia, sehingga pemerintah secara sepihak memutuskannya menjadi taman nasional. Konsekuensi dari status hukum kawasan konservasi ini adalah pengelolaan yang masih terpusat dibawah Departemen Kehutanan dalam hal ini BKSDA Jambi sebagai pemangku kawasan sebelum terbentuknya balai taman nasional.

Harapan banyak pihak melihat bahwa TNBD yang diperuntukkan menjadi wilayah kehidupan dan penghidupan Orang Rimba merupakan salah satu terobosan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Karena Taman Nasional ini merupakan satu-satunya taman nasional di Indonesia yang kelahirannya bertujuan untuk melindungi hak hidup dan penghidupan suku asli yaitu Orang Rimba serta sebagai contoh pengelolaan taman yang masyarakatnya tidak dikeluarkan. Sementara taman nasional lain cenderung membatasi akses manusia bahkan harus ”mengusir” manusia yang berada di dalamnya.

Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negara kita bahwa taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi dan adanya rencana pengelolaan (management planning) sebagai pedoman strategis pengelolaan kawasan konservasi. Untuk itulah BKSDA Jambi membuat Rencana Peneglolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) pada akhir tahun 2004 melalui pihak ketiga sebagai bentuk melaksanakan tanggung jawab dan adanya pengakuan dari pemerintah kabupaten yang melihat TNBD sebagai penghasil PAD mereka. Warsi sebagai lembaga yang telah lama melakukan kajian dan penelitian terkait Bukit Duabelas, berupaya memberikan input dalam penyusunan rencana pengelolaa taman sebagaimana lembaga lain yang juga ikut memberikan masukan untuk kesempurnaan penyusunan RPTN. Hal ini sebagai salah satu wujud komitmen Warsi terhadap Orang Rimba dan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan taman nasional sehingga kepentingan semua pihak bisa terakomodir. Namun karena pembuatan RPTN ini dalam waktu yang relatif singkat dan masih berbasis projek maka keterlibatan masyarakat masih minim. Berdasarkan kenyataan ini, Warsi telah memberikan koreksi dan kritik yang disampaikan dengan santun dan proporsional sehingga didapatkan perbaikan yang posistif, bukan resistensi. Warsi tetap memberikan masukan dan kritikan yang memperjuangkan hak Orang Rimba sedangkan keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah dalam hal ini BKSDA.

Namun rencana pengelolaan yang dikerjakan “dalam waktu singkat” ini memiliki berbagai kelemahan baik dari pengunaan aturan dan redaksional yang meyebabkan berbagai tafsiran dan implikasi yang berlawanan. Untuk itu Warsi mendorong pemangku kawasan untuk segera melakukan revisi RPTN dengan melibatkan semua pihak dan lebih melihat realitas di lapangan. Upaya ini telah dilakukan Warsi semenjak awal disyahkan RPTN karena selain kurang partisipatif juga perlu banyak sosialisasi. Rencana pembagian zonasi taman membuat komunitas Orang rimba merasa terbatasi ruang gerak kehidupan mereka apalagi pemangku kawasan kurang mensosialisasikan sehingga menimbulkan persepsi dan reaksi beragam di masyarakat. Pembentukan Dewan Adat komunitas Orang Rimba dan Persatuan Desa Penyangga sedang diinisiasi oleh Warsi dan mitra, agar keterlibatan stakeholder kunci lebih banyak dalam revisi rencana pengelolaan. Karena bagaimanapun dampak keberadaan taman nasional langsung dirasakan oleh pihak kunci tersebut.


Pengelolaan kolaboratif merupakan suatu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis pola kemitraan dan partisipasi berbagai pihak dalam pengelolaan sumber daya alam kawasan tersebut dengan pembagian wewenang, peran, dan tanggung jawab yang setara. Tujuan dari pengelolaan kolaborasi TNBD ini adalah agar kegiatan pengelolaan sumber daya alam sebagai hak dan kewajiban masyarakat merupakan gerakan masyarakat dalam arti luas sehingga antara program pemerintah dengan gerakan masyarakat dalam pengembangan kawasan konservasi merupakan gerakan terpadu. Prinsip pengelolaan kolaboratif TNBD yang coba didorong Warsi adalah meliputi beberapa hal, yaitu: berbasiskan masyarakat lokal (community-based), mengikutsertakan para pihak terkait (multistakeholders), berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty), berbagi peran (sharing of role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdasarkan Rencana Pengelolaan (management plan) Taman Nasional yang dibuat secara partisipatif.

Dengan adanya pengelolaan kolaboratif yang nantinya mungkin bisa berbentuk Forum Penentu Kebijakan TNBD atau Dewan Pengelola Taman Nasional harus terdiri dari berbagai pihak terutama Orang Rimba dam masyarakat desa sebagai pihak kunci dalam pengelolaan. Harapan kita semua TNBD bisa menjadi contoh pengelolan taman nasional yang tujuan utamanya adalah untuk mendukung kehidupan Orang Rimba dan sumber pelestarian alam. Seperti yang kita ketahui bahwa membangun suatu model pengelolaan kolaboratif yang benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan perjalanan panjang karena berbagai kendala yang dihadapi, seperti misalnya gejolak politik, kepastian hukum, kesiapan para stakeholder dan dukungan semua pihak yang berpartisipasi....

0 Comments:

Post a Comment

<< Home